Berita Informasi Tentang Kuliner Terupdate

Kisah di Balik Makanan Tradisional Indonesia yang Terlupakan

Kisah di Balik Makanan

Kisah di Balik Makanan – Pernahkah kamu mendengar tentang tinutuan, segeruk, atau bahkan tiwul? Makanan-makanan tradisional Indonesia ini kini mulai terlupakan di tengah dominasi fast food dan tren kuliner global. Padahal, di balik setiap suapan makanan ini terdapat kisah panjang yang kaya akan nilai budaya, sejarah, dan tradisi. Waktu berjalan, dan banyak hidangan-hidangan warisan nenek moyang kita yang perlahan menghilang dari meja makan kita. Apa yang sebenarnya hilang, dan mengapa kita begitu mudah melupakan kelezatan asli yang telah ada sejak berabad-abad?

1. Tinutuan: Sup Beras Ketan yang Terlupakan

Siapa yang tahu tentang tinutuan? Ini adalah hidangan khas Manado yang pada dasarnya adalah bubur beras ketan dengan kuah kaldu yang gurih, di beri berbagai sayuran dan lauk-pauk. Tinutuan adalah simbol kehangatan rumah dan keharmonisan keluarga di Manado. Dulu, tinutuan sering disajikan dalam acara adat atau pertemuan keluarga besar, dengan cita rasa yang sangat khas: manis dari sayuran dan gurih dari kaldu yang terbuat dari ikan laut segar.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak yang mulai melupakan tinutuan karena lebih tergoda dengan bubur ayam atau soto yang lebih populer di kota-kota besar. Padahal, di balik kelezatannya, tinutuan adalah representasi kehidupan masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Ia mengajarkan kita untuk mencintai kesederhanaan dalam masakan, yang penuh dengan makna dan kedalaman rasa.

2. Tiwul: Sejarah yang Terselip dalam Bahan Lokal

Tiwul mungkin lebih di kenal di kalangan masyarakat Jawa, tetapi sedikit yang tahu sejarah panjang yang terkandung dalam makanan ini. Terbuat dari singkong yang di keringkan, tiwul adalah makanan pokok yang banyak di makan pada masa-masa sulit, terutama saat perang kemerdekaan dan masa-masa kelaparan. Di tengah keterbatasan bahan pangan, masyarakat Jawa memanfaatkan singkong untuk di jadikan makanan yang bertahan lama dan mengenyangkan.

Namun, kini tiwul terancam punah. Banyak yang lebih memilih nasi atau roti sebagai makanan pokok bonus new member 100. Bahkan, generasi muda lebih memilih makanan cepat saji yang lebih praktis tanpa tahu bagaimana tiwul bisa menjadi penyelamat hidup di masa-masa kelam. Sejarah dan nilai keberlanjutannya seakan hilang begitu saja, padahal di balik tiwul terdapat pelajaran tentang daya tahan hidup dan kebijaksanaan dalam menggunakan bahan pangan lokal.

3. Segeruk: Hidangan Penggugah Selera dari Pedalaman

Segeruk adalah makanan khas dari pedalaman Kalimantan, yang terbuat dari campuran bahan dasar seperti ikan sungai, kelapa parut, dan rempah-rempah yang di bungkus dalam daun pisang dan kemudian di panggang. Hidangan ini dulu menjadi sajian utama dalam upacara adat atau perayaan besar. Rasanya? Paduan gurih, pedas, dan sedikit manis dari kelapa yang berpadu dengan daging ikan sungai yang lembut.

Namun, dengan semakin mudahnya akses ke restoran modern dan makanan olahan instan, hidangan seperti segeruk mulai terlupakan. Bahkan banyak orang yang belum pernah mencicipi kelezatannya. Padahal, makanan ini tidak hanya soal rasa, tapi juga tentang hubungan yang erat antara manusia dan alam, antara kehidupan dengan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Segeruk adalah kisah kehidupan yang tersirat dalam setiap bumbu yang di gunakan.

4. Bubur Ketan Hitam: Warisan Manis yang Kian Dilupakan

Bubur ketan hitam bukan sekadar hidangan penutup. Hidangan ini mengandung filosofi yang dalam tentang kebersamaan dan kesederhanaan. Ketan hitam yang di masak dengan santan dan gula kelapa, memberikan rasa manis alami yang tak tertandingi. Dulu, bubur ketan hitam sering di temukan dalam acara pernikahan, syukuran, atau sebagai makanan penutup dalam acara keluarga. Setiap suapan adalah simbol rasa syukur yang tak terucapkan.

Baca juga artikel terkait lainnya di jakarta.lokermedanterbaru.com

Namun, dalam dunia yang serba cepat ini, makanan yang membutuhkan waktu dan perhatian khusus untuk membuatnya kian sulit di temukan. Masyarakat modern cenderung lebih memilih dessert cepat saji atau yang instan tanpa merasakan kedalaman budaya yang terkandung dalam setiap sendok bubur ketan hitam ini.

Exit mobile version